Skip to content

Apakah Menikah Adalah Pilihanku?

Zaman sudah berubah.

Cukup sering bukan, kita mendengar kalimat tersebut? Orang tua selalu berkata bahwa hidup anak-anaknya sudah jauh lebih mudah. Jika ingin pergi ke sekolah, dulu mereka harus melewati dua gunung dan satu lembah dengan berjalan kaki, sedangkan anaknya sekarang sudah bisa dengan mudah mengendarai mobil. Jika ingin makan telur, satu telur harus dibagi dengan adek kakak mereka secara adil. Saat ini, kita bisa memakan telur tanpa harus dibagi rata dengan saudara-saudara kita.

Zaman sudah berubah. Perubahan ini tidak dapat kita hentikan dan secara tidak sadar pola pikir kita pun ikut berubah. Salah satu aspek dalam hidup kita yang mengalami perubahan adalah pandangan kita akan perkawinan. Dulu tidak terpikirkan bahwa wanita akan menempuh pendidikan yang sama dengan pria. Sudah sewajarnya wanita hanya mempersiapkan dan menjaga diri untuk menikah ketika sudah dinyatakan dewasa dan siap menghasilkan keturunan. Sekarang, mengejar mimpi dan mengembangkan potensi masing-masing sudah menjadi hal yang wajar bagi semua orang. Bahkan bagi beberapa orang, mereka rela tidak menikah demi menggapai mimpinya. Sebenarnya apa sih perkawinan itu?

Apa itu perkawinan?

Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 berbunyi, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan hanya diizinkan bila kedua mempelai memberikan persetujuan mereka dan sudah mencapai umur 19 tahun. Selain arti dari perkawinan itu sendiri, undang-undang ini menjelaskan kententuan-ketentuan lain mengenai pernikahan dalam sembilan bab dan 67 pasal.

Apakah kalian pernah bertanya-tanya mengapa ada undang-undang yang mengatur perkawinan? Mengapa hal tersebut dijelaskan begitu rinci? Mengapa ada batasan umur individu diperbolehkan menikah secara hukum? Perkawinan adalah komitmen dan wujud menyatukan dua individu ke dalam tujuan yang sama. Tujuannya yakni kebahagiaan yang langgeng bersama pasangan hidup dan mengikatkan diri dengan janji seumur hidup sampai maut memisahkan. Komitmen jangka panjang tersebut membutuhkan kesiapan yang mapan secara material, fisik, dan mental (Nurgajati & Wardyaningrum, 2012).

Horowitz, Graf, & Livingston (2019) melakukan penelitian untuk mengetahui mengapa orang-orang memutuskan untuk menikah atau tinggal bersama pasangannya. Melalui penelitiannya, ditemukan bahwa sepasang kekasih memutuskan untuk menikah karena berbagai alasan. Asalan utama adalah cinta. Hasil tersebut didapatkan dari 90% pasangan yang sudah menikah dan 73% pasangan yang tinggal bersama. Sebanyak 63% pasangan yang sudah menikah dan 61% pasangan yang tinggal bersama menyebutkan kondisi yang sudah mapan secara finansial dan ingin mengikat secara formal hubungannya dengan pasangan. Sebanyak 31% pasangan yang sudah menikah dan 14% pasangan yang tinggal bersama pasangan berkata ingin menikah karena ingin memiliki anak. Selain itu, ada juga yang sejak kecil sudah membayangkan pernikahan idealnya setelah melihat keharmonisan hubungan kedua orang tuanya atau orang lain.

young couple thinking
image source: www.freepik.com

Apakah kamu sudah siap?

Jika merujuk pada batasan umur untuk menikah sesuai undang-undang di Indonesia, menurut Erikson (dalam Santrok, 2013), individu berusia 19 tahun sudah memasuki tahap Intimacy vs Isolation dan terus berlangsung sampai usia 40 tahun. Setelah menemukan jati diri dan kedudukan mereka di masyarakat pada tahap Identity vs Role Confusion, individu akan mulai menjalin hubungan yang serius dengan orang lain. Jika individu berhasil melalui tahap ini, mereka dapat menjalin hubungan yang positif dan dalam tidak hanya dengan pasangan namun, juga dengan keluarga dan teman. Hubungan yang positif ini tidak akan berhasil tanpa komunikasi yang positif dan secara timbal balik.

Proses dan waktu setiap tahap perkembangan berbeda dari individu satu dengan yang lain. Meskipun Erikson menuliskan bahwa individu berusia 19 tahun sudah memasuki tahapan Intimacy vs Isolation, pada kenyataannya, individu pada usia tersebut masih ada yang menjalani tahap Identity vs Role Confusion. Mereka masih merasa bingung dan tidak nyaman dengan diri sendiri. Mereka akan mencoba berbagai macam peran, kegiatan, dan perilaku untuk mencari kedudukan mereka di masyarakat. Menurut Erikson, proses ini sangat penting untuk membentuk identitas diri yang kuat dan sudah tentu membutuhkan waktu.

Menerjunkan mereka yang masih dalam proses mencari jati diri dan menemukan cara mereka berhubungan dengan orang lain menuju pernikahan bukanlah hal yang disarankan. Perkawinan membutuhkan komitmen. Apa yang akan terjadi ketika kita memberikan tanggung jawab yang besar untuk membina rumah tangga kepada individu yang belum siap dan matang?

Higher Population Council (2019) menemukan bahwa menikah pada usia dini terutama di bawah usia 20 tahun ternyata memiliki risiko yang cukup mengkhawatirkan. Secara mental mereka belum siap menghadapi perubahan yang terjadi saat kehamilan, belum siap menjalankan peran sebagai seorang ibu, dan belum siap menghadapi masalah-masalah dalam berumah tangga.

Pada umumnya, remaja yang melangsungkan perkawinan di bawah umur 20 tahun belum memiliki pandangan dan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana seharusnya peran seorang ibu dan seorang istri atau peran seorang laki-laki sebagai ayah dan kepala rumah tangga. Ada juga kemungkinan menjadi mudah berpindah-pindah pekerjaan atau hubungan, dan mereka kecewa pada diri sendiri. Keadaan semacam ini merupakan titik rawan yang dapat mempengaruhi keharmonisan dan keberlangsungan perkawinan.

Kasus perkawinan pada usia dini terjadi juga di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, angka perkawinan usia dini di Indonesia mengalami penurunan dari 10,35 persen pada tahun 2020 menjadi 9,23 persen pada tahun 2021. Sebanyak 29 provinsi tercatat menurunnya angka perkawinan usia dini, sementara lima provinsi lainnya menunjukkan kenaikan. Kelima provinsi yang mencatat kenaikan tersebut adalah Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Sulawesi Barat tercatat sebagai provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi (17,71 persen). sementara Riau tercatat sebagai daerah yang terendah (2,89 persen).

Mengapa data menunjukkan angka yang cukup tinggi untuk kasus pernikahan usia dini? Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama Koalisi Perempuan Indonesia meluncurkan studi Perkawinan Bukan untuk Anak: Protret Perkawinan Anak di 7 Daerah. Studi ini melibatkan tujuh daerah observasi, yaitu Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), Rembang (Jawa Tengah), Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Lembata (Nusa Tenggara Timur), Sigi, Donggala, dan Kota Palu (Sulawesi Tengah). Studi ini menemukan sembilan faktor yang menjadi pendorong praktik perkawinan anak di dearah. Faktor-faktor tersebut adalah sosial, kesehatan, pola suh keluarga, ekonomi, kemudahan akses informasi, adat dan budaya, pendidikan, agama, dan hukum (Pranita, 2019).

Di Indonesia, terutama di daerah, masih ada stigma seperti “perawan tua” atau “perempuan tidak laku” ketika wanita dewasa belum menikah. Pandangan tersebut akhirnya memberikan tekanan pada generasi yang lebih muda dari keluarga dan masyarakat sekitar. Ditambah lagi kombinasi akses informasi yang mudah karena internet dan pengetahuan yang terbatas karena pendidikan yang rendah mengenai perkawinan, kesehatan reproduksi, dan seksualitas. Informasi tersebut bahkan masih tergolong tabu untuk dibicarakan. Perkawinan juga dipandang sebagai jalan keluar untuk memperbaiki perekonomian keluarga dengan menjodohkan anak di usia muda.

Di balik pententangan akan perkawinan usia dini, pada praktiknya masih ada pasangan yang menikah di usia dini karena berbagai alasan. Mereka menikah lebih cepat karena ingin memformalkan hubungan dengan pasangan agar tidak melanggar ajaran agama dan sosial, salah satunya seperti pergaulan bebas. Dengan menikah, mereka dapat meringankan beban orang tua karena anak sudah mandiri (Yanti, Hamidah, & Wiwita, 2018). Perkawinan juga dapat mendewasakan anak karena mereka dipaksa untuk mengontrol emosi dan memegang tanggung jawab lebih bersama pasangannya. Membesarkan anak juga membutuhkan energi yang lebih dan mereka yang masih muda memiliki tubuh yang bugar dan sehat, sebuah kondisi yang ideal untuk membesarkan anak.

Terdapat pro dan kontra mengenai perkawinan usia dini. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa daerah masih menjalankan adat istiadat mereka. Oleh karena itulah pernikahan usia dini dinilai merupakan hal yang wajar di daerah terkait. Mereka yang hidup di kota, di mana informasi terbaru dapat diakses dengan mudah dan cepat, sudah pasti akan mendapatkan informasi terbaru lebih cepat sehingga pola pikir mereka akan berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah. Hal ini pulalah yang menjadikan penilaian terhadap perkawinan dini bisa berbeda antara mereka yang hidup di daerah dengan mereka yang hidup di kota.

Satu hal yang perlu dingat ketika kita memutuskan untuk menikah adalah kesiapan. Apakah perkawinan adalah hal yang kalian inginkan? Dunia perkawinan merupakan dunia yang berbeda dan cinta saja tidak cukup untuk mempertahankannya. Kedua pihak harus berjuang. Harus berkompromi dan tahu batasan masing-masing. Merasa usaha kalian lebih besar dibanding pasangan? Hal tersebut adalah sesuatu yang sudah seharusnya kalian sadari ketika kalian mengucapkan ‘Saya bersedia mencintainya sampai maut memisahkan’. Meskipun tidak ada yang bisa menjamin bahwa perkawinan akan mulus sepanjang waktu, setidaknya kalian memulai karena keinginan kalian sendiri dan bukan karena pilihan orang lain.

References

Badan Pusat Statistik. (2021). Proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 18 tahun menurut provinsi (persen), 2019-2021. https://www.bps.go.id/indicator/40/1360/1/proporsi-perempuan-umur-20-24-tahun-yang-berstatus-kawin-atau-berstatus-hidup-bersama-sebelum-umur-18-tahun-menurut-provinsi.html

Higher Population Council. (2019). Under-age marriages are considered one of the primary population issues that threaten the standard of society’s demographic characteristics. https://www.hpc.org.jo/en/content/higher-population-council-under-age-marriages-are-considered-one-primary-population-issues

Horowitz, J. M., Graf, N., & Livingston, G. (2019). Why people get married or move in with partner. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/social-trends/2019/11/06/why-people-get-married-or-move-in-with-a-partner/

Nurhajati, L., & Wardyaningrum, D. (2012). Komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan di usia remaja. Journal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, 1(4), 236-248.

Pranita, E. (2019). 9 faktor meningkatnya angka perkawinan anak di indonesia. Kompas. https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/28/200200723/9-faktor-meningkatnya-angka-perkawinan-anak-di-indonesia?page=all

Santrok, J. W. (2013). Life-span development (4th ed.) McGraw-Hill.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019  tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Yanti, Hamidah, & Wiwita. (2018). Analisis faktor penyebab dan dampak pernikahan dini di kecamatan kandis kabupaten siak. Jurnal Ibu dan Anak, 6(2), 96-103.

Like This

Share This

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on pinterest
Share on whatsapp