Hidup dan menjalani kegiatan sehari-hari sudah menjadi rutinitas manusia untuk bertahan hidup. Sejak lahir dari perut ibu, sampai terbaring tidur di peti mati dan bergabung kembali dengan tanah, manusia memiliki perannya masing-masing. Seorang anak berperan untuk menempa ilmu di institusi pendidikan hingga dewasa. Orang dewasa berperan untuk bekerja, mencari uang, dan jika memungkinkan membimbing, dan menuntun anak-anak yang lebih muda.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), semua hal di atas dapat disimpulkan sebagai kewajiban, sesuatu yang wajib dilaksanakan, sebuah keharusan. Jika kita telah memenuhi kewajiban, kita dapat menerima hal yang menjadi milik, kepunyaan, dan kewenangan kita, sebuah hak. Jika disimpulkan, hak akan timbul jika seseorang telah memenuhi kewajibannya. Begitu pula dengan kewajiban yang muncul, apabila seseorang memiliki hak (Putri, 2022). Keduanya harus seimbang.
Bagaimana jika seseorang menginginkan hak mereka, namun tidak melakukan kewajibannya? Bagaimana jika mereka sampai melakukan segala cara untuk menghindari kewajiban?
Dikutip dari berita BBC pada tanggal 22 Mei 2019 lalu, Vincent Gigante, atau dikenal sebagai “The Oddfather”, merupakan bos dari keluarga kriminal Genovee New York dan salah satu tokoh mafia paling berpengaruh pada masanya. Vincent Gigante berpura-pura gila untuk menghindari hukuman penjara, berkeliaran di sekitar desa Greenwich, London menggunakan jubah mandi dan sandal jepit selama lebih dari 30 tahun. Keponakannya, Rita Gigante, bersaksi bahwa ketika sedang berjalan, Vincent akan tiba-tiba berhenti, mengacungkan jarinya, dan bergumam tidak jelas. Jika ia merasa ada orang lain yang merekam dirinya, seperti pihak dari kepolisian, ia akan lebih mendalami perannya. Setelah dilakukan penyelidikan yang panjang, agen Federal Bureau of Investigation (FBI) menyimpulkan bahwa Vincent melakukan malingering.
Sebenarnya apa itu malingering?
Menurut DSM–5, malingering tidak termasuk dalam klasifikasi gangguan mental. Namun, DSM-5 menjelaskan malingering dalam salah satu klafisikasi gangguan somatis yaitu conversion disorder. Malingering serupa dengan factitious disorder, yang merupakan sebuah perilaku berpura-pura atau membesar-besarkan gejala fisik dan/atau psikis yang dilakukan pada diri sendiri atau orang lain tanpa manfaat kecuali kondisi medis itu sendiri.
Perbedaan malingering dengan factitious disorder adalah ketika individu terdiagnosis dengan malingering, mereka akan memalsukan atau melebih-lebihkan penyakit (fisik atau mental) untuk mendapatkan keuntungan eksternal seperti menghindari pekerjaan atau tanggung jawab, mencari obat-obatan, menghindari pengadilan (hukum), mencari perhatian, menghindari dinas militer, cuti dari sekolah, cuti dibayar dari pekerjaan, dan lain-lain (Bogousslavsky dkk., 2018).
Menurut Alozai & McPherson (2022) dalam bukunya yang berjudul Malingering, individu secara sadar berbohong tentang kondisinya untuk mendapatkan manfaat. Setelah mendapat manfaat, mereka akan berhenti mengeluh. Tidak ada obat atau intervensi yang dapat menyembuhkan kondisi ini. Namun, jika orang yang melakukan malingering kehabisan alasan, mereka akan menyerah dengan sendirinya.
Meskipun tidak tergolong sebagai gangguan mental, DSM-5 menuliskan bahwa jika kombinasi dari 4 keluhan di bawah ini ada pada individu, maka kondisi malingering perlu dipertimbangkan.
- Konteks presentasi medis. Misalnya pengacara mengirim kliennya untuk dievaluasi atau sang klien datang dengan penyakit saat menghadapi persidangan.
- Perbedaan mencolok pada individu antara “gugatan stres atau kecacatan” dan “penemuan dan pengamatan objektif”.
- Kurangnya kepatuhan terhadap evaluasi diagnostik, pengobatan, dan perawatan tindak lanjut.
- Adanya gangguan kepribadian anti-sosial.
Kondisi fisik dan riwayat kesehatan individu juga perlu diperiksa. Kondisi seperti penampilan dan perilaku (tampak tidak rapi, tidak ada kontak mata, dan tidak ada hubungan baik), suasana hati (jawaban rendah atau gembira), pikiran (khayalan yang berlebihan atau bingung), persepsi (halusinasi yang berlebihan, secara visual dan auditori), wawasan (memiliki wawasan yang baik mengenai penyakit yang di dipalsukan), dan kemampuan kognisi (tidak dapat dinilai dengan benar karena ada kemungkinan berbohong). Riwayat kesehatan, riwayat pengobatan, pengobatan saat ini, riwayat keluarga, dan riwayat hubungan sosial juga penting untuk diperiksa untuk mengidentifikasi individu dengan malingering (Alozai & McPherson, 2022).
Deteksi dan Penanganan Malingering
Malingering dapat ditangani dengan terapi, namun hindari menghadapi atau menyerang individu secara langsung ketika terapi berlangsung. Hindari mempertanyakan keyakinan mereka. Hindari menuduh individu memalsukan penyakitnya. Hal tersebut dapat membawa terapis pada tuntutan hukum. Terapis atau dokter lebih baik memberikan penjelasan ilmiah tanpa menolak kepercayaan individu atau memberikan anjuran terapi. Terapi yang dianjurkan dapat berupa terapi perilaku, terapi psikologi, dan konseling (Alozai & McPherson, 2022).
Mendeteksi malingering terkenal cukup sulit, meskipun relatif umum terjadi. Gejala yang dibuat-buat seringkali merupakan gejala yang paling sulit untuk dievaluasi. Tidak ada tes darah atau tes pemindai otak yang dapat secara pasti menentukan seseorang melakukan malingering. Salah satu cara untuk mendeteksi malingering dapat dimulai dari mendeteksi sikap yang dilebih-lebihkan, kontradiksi fakta, dan inkonsistensi. Misalnya, kita mencurigai kredibilitas seseorang jika mereka melaporkan halusinasi pendengaran yang lemah, namun tidak tampak terganggu oleh fakta tersebut. Kecurigaan tersebut dapat tampak juga dalam bentuk perilaku yang terlalu “sempurna” menggambarkan gejala-gejala penyakit atau gangguan yang mereka tiru (Montague, 2019).
Dari penjelasan di atas, mendeteksi seseorang dengan malingering membutuhkan proses pemeriksaan mendetail. Malingering tidak termasuk dalam klasifikasi gangguan mental karena didasari oleh perilaku yang secara sadar dilakukan untuk menghindari kewajiban atau tuntutan hukum. Jika kita mencurigai seseorang melakukan dugaan malingering, observasi terlebih dahulu perilaku, masalah yang ada di sekitar mereka, dan lingkungan di mana mereka melakukan dugaan malingering sebelum memutuskan untuk menindaklanjuti dugaan tersebut. Jangan lupa juga untuk mekakukan konsultasi dengan tenaga profesional untuk diagnosis lebih lanjut.
References
Alozai, U. U., & McPherson, P. K. (2022). Malingering. Louisiana, America: StatPearls Publishing LLC
Bogousslavsky, J., Galli, S., Tatu, L., & Aybek, S. (2018). Conversion, factitious disorder and
malingering: A distinct pattern or a continuum? Neurologic-Psychiatric Syndromes in Focus. Part II – From Psychiatry to Neurology, 72-80(42). DOI: 10.1159/000475699
Putri, V. K. M. (2022). Mengapa hak dan hewajiban saling berkaitan? Kompas.com. Diakses pada tanggal 9 September 2022 dari https://s.id/1Bjzk
Montague, J. (2019). “Malingering” – faking a sickness for an ulterior motive – is surprisingly common. Here are some of the ways in which doctors tell real illnesses from false ones. Detikcom. Diakses pada tanggal 27 September 2022 dari https://www.bbc.com/future/article/20190521-malingering-when-criminals-fake-diseases