Skip to content

Peran Orang Tua di Kehidupan Anak

Kehidupan anak tidak lepas dari orang tua. Orang tua adalah pihak yang paling dekat dan paling berpengaruh terhadap kehidupan anak. Ketika anak masih muda, tugas orang tua adalah membina dan membimbing mereka. Memasuki usia remaja, anak mulai percaya bahwa mereka adalah pribadi dengan hak mereka sendiri (Santrock, 2013).

Orang tua mulai merasa bahwa kedudukan mereka dengan anak semakin setara, yang membawa sistem hubungan orang tua dengan anak mengalami perubahan. Proses pembelajaran ulang ini tidak mudah bagi kedua belah pihak. Sampai hubungan baru terjalin, konflik karena komunikasi yang kurang baik dan harapan yang tidak terpenuhi dianggap biasa (Montemayor, 1983). Namun, remaja tetap membutuhkan orang tua dan dukungan mereka, sebanyak mereka membutuhkan dukungan ketika mereka masih muda.

Menurut Erik Erikson (dalam Santrock, 2013), anak yang memasuki usia remaja dihadapkan dengan pertanyaan siapa mereka dan ke mana mereka pergi dalam hidup. Mereka ingin mencoba berbagai hal dan menemukan kedudukan mereka di dunia. Peran orang tua cukup penting dalam membimbing remaja menemukan identitas mereka, memberitahu hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Perselisihan sudah pasti tidak lepas dari proses. Di satu sisi orang tua memiliki ketakutan akan bahaya yang belum tentu terjadi, di sisi lain remaja ingin bebas berkarya tanpa dibatasi. Jika salah satu pihak lebih dominan dari yang lain, akan ada kemungkinan terbentuknya hubungan yang tidak sehat antara orang tua dengan anak.

Poin penting bagi peran orang tua adalah metode pemantauan yang efektif. Harus ada keseimbangan antara kebebasan dan kontrol. Pemantauan ini termasuk mengawasi pilihan lingkungan sosial remaja, termasuk teman, aktifitas, dan kegiatan akademik. Jika orang tua telah membentuk hubungan yang positif dan setara dengan remajanya, maka remaja lebih mungkin untuk mengungkapkan informasi mengenai diri mereka (Smetana dalam Santrock, 2013). Jika hal tersebut diaplikasikan ketika remaja dihadapkan dengan pilihan penting dalam hidup mereka, mereka dapat membentuk arah mereka ingin pergi dalam hidup dan memiliki identitas yang kuat.

Andrea Mathews (2021), seorang konselor profesional berlisensi dalam tulisannya yang berjudul Healthy Boundaries for Adult Children of Toxic Parents, menuliskan bahwa membuat batasan yang sehat dengan orang tua yang masih terjebak dalam pengalaman masa kecil yang penuh luka dapat menjadi tantangan sulit. Ketika seorang remaja hendak membuat batasan baru dengan orang tua yang seperti itu, mereka ragu untuk memulai karena merasa bersalah atau tidak ingin memulai pertengkaran dengan orang tua. Mereka juga takut akan menyakiti perasaan orang tuanya. Pola itu terus berulang dan tanpa disadari mereka sudah hidup di dalamnya, sampai akhirnya menimbulkan kesulitan emosional seperti amarah, cemas, dan depresi (Shute, Maud, & McLachlan, 2019).

Young (dalam Shute, Maud, & McLachlan, 2019) berkata bahwa kesulitan emosional yang berawal dari masa kecil karena orang tua gagal memenuhi kebutuhan anak dapat bertindak sebagai cetak biru negatif untuk persepsi dunia di kemudian hari. Salah satu cara untuk menghindari kondisi tersebut adalah dengan mempraktekkan pola asuh yang tepat pada anak.

Orang Tua di Kehidupan Anak
image source: www.freepik.com

Macam-Macam Pola Asuh

Diana Baumrid (dalam Santrock, 2013) menjabarkan empat pola asuh yang terdiri dari authoritarian, authoritative, neglectful, dan indulgent.

  1. Authoritarian parenting (otoriter) digambarkan dengan orang tua yang tegas, membatasi, menghukum, dan mendesak anak untuk mengikuti arahan, menghormati pekerjaan, dan usaha orang tuanya.
  2. Authoritative parenting (demokratis) mendorong anak untuk mandiri, namun tetap memberikan batasan-batasan dan mengontrol perilaku mereka. Orang tua bersikap hangat dan perhatian terhadap anak.
  3. Neglecful parenting (cuek) merupakan pola asuh di mana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak.
  4. Indulgent parenting (permisif) merupakan pola asuh di mana orang tua sangat hangat dan penuh kasih sayang. Orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan. Mereka tidak memberikan batasan yang tegas, tidak selalu mengontrol, dan hanya memiliki sedikit peraturan.

 

Penelitian menunjukkan bahwa orang tua dengan pola asuh authoritative lebih mungkin membesarkan anak yang mandiri dan kompeten secara sosial. Namun, ketika membicarakan mengenai pola asuh, tidak ada satu pola paten yang dikatakan paling cocok. Orang tua yang baik adalah mereka yang tahu kapan perlu mengubah pola asuh bergantung pada situasi. Pola yang dikira paling sesuai untuk membimbing anak bisa saja tidak lebih baik digunakan dibanding yang lain.

 

Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Pola Asuh

Berikut adalah kelebihan dan kekurangan masing-masing pola asuh menurut hasil penelitian.

Pola AsuhKelebihanKekurangan
AuthoritarianBatasan yang jelas dan tegas dapat membantu anak untuk lebih fokus pada pencapaian merekaTekanan yang tinggi membuat anak lebih rentan stres dan menunjukkan perilaku nakal (seperti merokok, bolos sekolah, dan minum alhokol di bawah umur)
AuthoritativeOrang tua menciptakan lingkungan yang harmonis dan suportif. Pandangan anak terhadap diri sendiri dan kualitas hidupnya lebih tinggi dan lebih sehatMembutuhkan usaha lebih dari kedua belah pihak agar pendapat semua orang didengar. Peraturan dan batasan juga harus fleksibel dan sering berubah (bisa berat untuk semua pihak)
NeglectfulAnak lebih tangguh dan mandiriAnak kesulitan dalam mengontrol emosi, menjalin hubungan, dan akademik
IndulgentAnak bebas berkarya tanpa batas dan usaha mereka banyak dihargai dan dipujiAnak menjadi kurang bertanggung, suka memberontak, manja, dan kurang bisa mengendalikan diri (bergantung pada individu masing-masing)

Jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dapat dilihat ketika anak mendapat nilai di bawah rata-rata pada sebuah ujian. Orang tua tahu bahwa anak sudah mempersiapkan diri  untuk mengerjakan ujian tersebut. Orang tua yang demokratis akan memuji usaha anak yang sudah benar (mempersiapkan ujian dengan belajar) dan mendorong mereka mencari solusi lain untuk berusaha lebih baik di ujian selanjutnya. Penyesuaian akan tetap dilakukan seperti mengurangi waktu bermain dan menambahkan waktu belajar, namun dalam rentang yang disepakati kedua pihak.

Anak dengan orang tua yang keras dan tegas akan merasa takut untuk menunjukkan hasil ujian mereka. Bergantung pada kebiasaan yang dilakukan orang tua, bisa saja anak akan mendapat hukuman keras seperti dipukul, barang kesayangan mereka diambil, atau mereka akan dilarang melakukan hal yang mereka sukai. Orang tua otoriter melakukan hal tersebut karena mereka berpikir bahwa sebuah kesepatakan telah dibuat dengan sang anak. Secara otomatis, anak akan berusaha lebih keras agar berhasil diujian selanjutnya.

Berbeda dengan kedua pola asuh sebelumnya yang memberikan respon terhadap hasil ujian sang anak, orang tua yang cuek bahkan tidak tahu bahwa sang anak diberikan pekerjaan rumah atau sudah diselesaikan atau belum. Hal-hal seperti itu tidak terlalu penting bagi mereka. Jika sang anak menyadari pentingnya memperbaiki nilai, mereka akan berusaha lebih baik di ujian selanjutnya. Namun, jika mereka merasa yang sebaliknya dan orang tua mereka tidak memberi teguran, ada kemungkinan mereka justru menelantarkan tugas-tugas mereka di sekolah.

Orang tua permisif memegang dasar yang kurang lebih sama dengan orang tua demokratis. Namun, proses membimbing mereka sedikit berbeda. Ketika orang tua mengetahui bahwa sang anak gagal pada suatu ujian, harapannya adalah sang anak akan berusaha lebih baik diujian berikutnya. Keputusan mereka selanjutnya adalah pilihan mereka. Mereka sendiri yang akan merasakan konsekuensinya dalam bentuk nilai yang lebih buruk atau dipanggil kepala sekolah jika tidak berusaha lebih baik. Perlu diingat bahwa bukan berarti orang tua permisif akan memberikan apa pun yang anak mereka mau jika mereka melakukan suatu kesalahan.

Pada kondisi tertentu, orang tua perlu bersikap tegas dan keras jika kondisi melibatkan keselamatan anak. Ketika anak sedang sedih atau sakit, bersikap lebih santai dan lembut juga dibutuhkan agar mereka merasa mendapatkan dukungan dari orang tuanya. Di penghujung hari, ingatlah bahwa orang tua ada untuk mendukung, membimbing, dan mempersiapkan anak untuk menjalani kehidupan bermasyarakat.

References

Mathews, A. (2022, Jan 24). Healthy boundaries for adult children of toxic parents. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/traversing-the-inner-terrain/202201/healthy-boundaries-adult-children-toxic-parents

Montemayor, R. (1983). Parents and adolescents in conflict: All families some of the time and some families most of the time. Journal of Early Adolescence, 83-103(3). DOI: 10.1177/027243168331007

Santrock, J. W. (2013). Life-span development (14th Ed). New York, America: McGraw-Hill

Shute, R., Maud, M., & McLachlan, A. (2019). The relationship of recalled adverse parenting styles with maladaptive schemas, trait anger, and symptoms of depression and anxiety. Journal of Affective Disorders, 337-348. DOI: 10.1016/j.jad.2019.08.048

Like This

Share This

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on pinterest
Share on whatsapp