Skip to content

Waspada Child Grooming! Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mencegahnya?

Dewasa ini, anak-anak lebih sering menghabiskan waktu untuk menatap layar gawai mereka, entah menonton youtube, berselancar di media sosial, atau bermain game. Berdasarkan riset yang dilakukan Comres untuk program BBC, sebanyak 96% anak berusia 13—18 tahun memiliki akun media sosial, seperti Facebook, Instagram, Snapchat, dan Whatsapp, dan 78% anak berusia di bawah 13 tahun setidaknya memiliki satu akun media sosial (BBC, 2016). Hal ini dapat menjadi perhatian orang tua karena anak-anak dapat menjadi sasaran empuk bagi predator yang sedang mencari mangsa.

Akhir-akhir ini terdapat fenomena yang cukup menarik perhatian, yakni child grooming. Child grooming  adalah sebuah cara saat seorang calon-pelaku-kekerasan menjalin pertemanan dengan anak, hal ini dilakukan agar calon-pelaku-kekerasan mendapatkan kepercayaan anak supaya memungkinkan mereka untuk melakukan aktivitas yang bersifat melecehkan secara seksual (Gillespie dalam Craven, 2006).  

Secara umum, anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual daring 99% berumur 13—17 tahun (Wolak et al. dalam Winters, 2017). Hal ini dapat terjadi karena usia 13—17 tahun merupakan usia seorang anak mengalami pubertas dan memiliki ketidakstabilan emosi yang disebabkan oleh hormon. Ketidakstabilan emosi yang dirasakan oleh remaja pada saat pubertas, biasanya disebabkan karena mereka merasa tidak ada orang yang dapat mengerti hal yang mereka inginkan, termasuk orang tua. Oleh karena itu, saat remaja menemukan sosok yang dapat mengerti perasaan mereka, maka rasa nyaman dan percaya dapat dengan mudah mereka berikan. Hal ini mempermudah groomer (pelaku child grooming) untuk masuk ke dalam kehidupan mereka. Maraknya penggunaan media sosial di kalangan anak dan remaja, membuat groomer memiliki akses yang lebih mudah untuk menjangkau mereka.

Dalam melakukan aksinya, terdapat beberapa tahapan yang dilakukan oleh groomer (Cano et al., 2014), yakni:

  • Groomer mendapatkan akses ke anak-anak yang mereka tuju, bisa dengan mengikuti akun sosial media atau berada di sebuah komunitas/grup yang berisikan anak-anak dan remaja di bawah umur.
  • Lalu, groomer melakukan hal yang disebut dengan Deceptive Trust Development. Hal ini berkaitan dengan pertukaran informasi pribadi antara anak dan groomer, seperti umur, hal yang disukai, hal yang tidak disukai, hingga hubungan romansa yang sedang atau pernah dijalani sebelumnya. Tahap ini memungkinkan groomer untuk menunjukkan ‘kesamaan’ yang ia miliki dengan anak.
  • Selanjutnya, tahapan yang disebut jebakan dimulai. Pada tahap ini, anak mulai memberikan kepercayaannya kepada groomer.  Dalam hal ini, groomer mampu memberikan rasa nyaman kepada anak (seperti mendengarkan cerita sehari-hari dan memihak kepada anak).
  • Setelah kepercayaan sudah didapatkan, groomer melanjutkan ke tahap selanjutnya, yakni grooming stage. Pada tahap ini, groomer mulai menggali informasi terkait rasa ingin tahu anak tentang hal-hal seksual. Pada tahap ini, groomer menggunakan istilah-istilah seksual dan mampu menjebak anak ke dalam perilaku seksual secara daring.  
  • Terakhir, groomer mulai mencari cara supaya dapat bertemu dengan anak. Pada tahap ini groomer mulai bertanya tentang informasi pribadi yang berkaitan dengan lingkungan anak, seperti jam pulang sekolah, jam orang tua pergi/pulang kerja, atau tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh anak. 

 

Pada tahun 2019, terdapat 236 kasus kejahatan seksual melalui media daring (online) di Indonesia, 35%-nya merupakan kasus kejahatan seksual anak, baik berupa kasus pornografi maupun child grooming (ECPAT, 2019). Banyaknya kasus kejahatan seksual yang menimpa anak di bawah umur di Indonesia membuat orang tua harus lebih waspada terhadap aktivitas anak-anaknya, terutama di media sosial. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mencegah hal tersebut, di antaranya:

 

Memberikan Penjelasan atau Pengertian terkait Penggunaan Media Sosial

Pada masa remaja, anak cenderung merasa jika mereka sudah besar dan tidak memerlukan pengawasan orang tua. Akan tetapi, mereka tidak sadar jika terdapat hal-hal yang dapat membahayakan mereka. Oleh karena itu, orang tua dapat memberikan penjelasan atau pengertian tentang bahaya yang ada di media sosial, seperti child grooming. Terkadang orang tua merasa jika hal-hal terkait seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dibahas, padahal hal tersebut merupakan sesuatu yang penting yang perlu diketahui oleh anak. Orang tua dapat berterus terang kepada anak jika mereka masih membutuhkan pengawasan karena banyaknya kejahatan yang dapat terjadi, terutama di media sosial. Orang tua dapat mengatakan jika pengawasan ini dilakukan karena mereka peduli dan sayang kepada anak. Selain memberikan pengertian atau pemahaman, orang tua juga dapat mencoba untuk menentukan batas usia anak boleh memiliki media sosial, misalnya pada umur 16 tahun (tahun pertama SMA) atau jika anak bersikeras ingin memiliki media sosial karena teman mereka memiliki media sosial, orang tua dapat membuat kesepakatan seperti, “engga apa-apa main media sosial, tapi kalau ada yang aneh bilang ke mama atau papa, ya?”.

parents watch daughter with social media
image source: www.freepik.com

Membatasi Akses ke Situs Daring atau Media Sosial

Orang tua juga dapat membatasi akses ke situs daring atau media sosial tertentu. Jika orang tua memberikan ponsel pribadi ke anak-anak di bawah umur, sebaiknya pertimbangkan untuk memasang kata sandi pada beberapa situs yang dianggap berbahaya atau kurang aman untuk anak (Ulinnuha, 2013).

 

Berkomunikasi dengan Anak

Selain pencegahan yang sifatnya berfokus ke teknologi, sebaiknya orang tua melakukan komunikasi dengan anak. Orang tua dapat secara aktif mengajak anak untuk bercerita tentang kegiatan sehari-hari, tentang hal yang mereka suka, hobi, atau hal apapun yang dapat menarik perhatian anak, sehingga anak tidak berfokus kepada ponselnya sepanjang waktu. 

Dalam komunikasi antara orang tua dengan remaja, terkadang dapat menimbulkan miskomunikasi atau pertengkaran karena adanya perbedaan pola pikir. Hal ini dapat menyebabkan anak tidak merasa nyaman berada di rumah. Terdapat beberapa hal yang dapat orang tua lakukan agar anak merasa nyaman di dalam keluarga, seperti melakukan aktivitas kesukaan anak bersama-sama (seperti piknik, nonton film, berolahraga, dan lain-lain), berusaha memosisikan diri orang tua di dalam sepatu anak, seperti pahami pola pikir anak, menghargai setiap pilihannya, menghindari menghakimi namun mencoba memberi pengertian jika memang yang ingin dilakukan/dipikirkan anak kurang tepat (Surbakti, 2009), serta membuka kesempatan untuk berdiskusi dan mencapai kesepakatan. Selain sebagai upaya pencegahan, hal ini dilakukan agar hubungan anak dan orang tua tidak memiliki pembatas atau “tembok”, sehingga orang tua tahu apa yang dilakukan anak dan anak merasa nyaman serta memiliki rasa percaya untuk bercerita kepada orang tua (Handayani, 2017).

Perkembangan teknologi dan media daring dapat menjadi hal yang menyeramkan apabila tidak digunakan dengan bijak. Kejahatan berbasis daring dapat dengan mudahnya dilakukan, salah satunya kejahatan seksual bagi anak dan remaja. Oleh karena itu, sebagai orang tua penting untuk mengawasi setiap aktivitas yang dilakukan oleh anak di dalam media daring. Jika orang tua merasa ada hal yang tidak wajar, jangan takut untuk melaporkannya kepada pihak berwajib. 

References

BBC. (2016). “Anak-Anak “Tidak Mematuhi” Batasan Umur Media Sosial”. (https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/02/160209_majalah_medsos_anak

Cano, E.A, et al. (2014). “Detecting Child Grooming Behaviour Patterns on Social Media”. Social Informatics, SocInfo, 8851, 412—427. (DOI: 10.1007/978-3-319-13734-6_30)

Craven, Samantha, et al. (2006). “Sexual Grooming of Children: Review of Literature and Theoretical Consideration”. Journal of Sexual Aggression, 12(3), 287—299. (DOI: 10.1080/13552600601069414)

ECPAT. (2019). “Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2019: Buruknya Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual Online”. (https://ecpatindonesia.org/en/news/catatan-akhir-tahun-ecpat-indonesia-2019-buruknya-perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual-online/

Handayani, Meni. (2017). “Pencegahan Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Melalui Komunikasi Antarpribadi Orang Tua dan Anak”. Jurnal Ilmiah VISI PGTK PAUD dan DIKMAS, 12(1), 67—80.

Surbakti, E.B. (2009). Kenalilah Anak Remaja Anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Ulinnuha, Masyari. (2013). “Melindungi Anak dari Konten Negatif Internet: Studi terhadap Peramban Web Khusus Anak”. SAMAWA, 8(2), 341—360.

Winters, Georgia M. et al. (2017). “Sexual Offenders Contacting Children Online: An Examination of Transcripts of Sexual Grooming”. Journal of Sexual Aggression. (DOI: 10.1080/13552600.2016.1271146)

Like This

Share This

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on pinterest
Share on whatsapp