Skip to content

Peter Pan Syndrome: Ketika Anak “Tidak Bisa” Tumbuh Dewasa
Kenali Ciri-Ciri, Penyebab, dan Cara Mencegahnya

Jika mendengar kata peterpan, apa yang terpikirkan oleh anda? Seorang lelaki yang tinggal di Neverland, mempunyai teman setia bernama tinkerbell, kekasih bernama wendy, merupakan seorang anak yang penuh dengan imajinasi, dan tidak ingin tumbuh dewasa?

Sindrom Peterpan pertama kali dikenalkan oleh Dan Killey. Sindrom Peterpan muncul berdasarkan fenomena remaja laki-laki pubertas yang terlibat dalam kenakalan remaja (Killey, 1983). Walaupun pada awal kemunculannya Killey memfokuskan sindrom ini kepada laki-laki, namun ternyata sindrom ini dapat memengaruhi gender dan budaya apapun (Healthline, 2020). Menurut Quadrio (1983) sindrom Peterpan merupakan sebuah kondisi berupa bentuk kecemasan ketika seseorang menjadi dewasa, sehingga mereka ingin tetap berada di dalam zona nyaman dunia anak-anaknya. Hal ini dapat terjadi karena bagi sebagian orang tumbuh dewasa dapat menjadi hal yang menakutkan. Adapun gejala yang dapat terlihat, seperti:

  • Kurang memiliki rasa tanggung jawab.
  • Takut akan kritikan.
  • Kebiasaan untuk mencari alasan dan menyalahkan orang lain saat terdapat masalah.
  • Mudah meninggalkan pekerjaan saat mereka merasa bosan atau stress.
  • Bergantung kepada orang lain/tidak bisa mandiri.
  • Tidak dapat membuat keputusan, cenderung mengikuti keputusan/pilihan orang lain (bersifat pasif).

 

Simtom sindrom Peterpan biasanya terlihat saat anak mulai beranjak ke usia remaja. Simtom ini mulai terlihat saat anak menginjak usia 12 tahun (Kalkan et al., 2019). Apabila orang tua mulai menyadari terdapat perilaku yang tidak biasa pada anak, orang tua dapat segera mengambil tindakan, baik berkonsultasi ke psikolog maupun melakukan pencegahan sejak dini.

Boy being bored
image source: www.freepik.com

Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan sindrom Peterpan, salah satunya adalah pola asuh. Kesalahan pola asuh/pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua memiliki peran atas penyebab munculnya sindrom Peterpan (Ortega dalam Arini, 2007). Adapun dua pola asuh yang dianggap dapat menimbulkan simtom sindrom Peterpan:

Pola Asuh Otoriter

Dalam KBBI edisi V versi daring, kata otoriter memiliki makna ‘berkuasa sendiri; sewenang-wenang’. Menurut Santrock (2011) pola asuh otoriter adalah gaya membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan mereka. Berkaitan dengan hal tersebut, orang tua yang memiliki pola asuh otoriter tidak memberikan kebebasan kepada anaknya. Mereka sudah menentukan hal-hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh anak, sehingga anak tidak mempunyai pilihan lain. Pola asuh otoriter dapat menyebabkan anak kesulitan untuk mengutarakan pendapat atau hal-hal yang mereka rasakan (bersifat lebih pasif) karena mereka terbiasa untuk mengikuti hal yang sudah diatur dan direncanakan oleh orang tua mereka.

Pola Asuh Overprotektif

Setiap orang tua tentu ingin yang terbaik untuk anaknya. Orang tua dengan pola asuh overprotektif biasanya memiliki alasan seperti merasa terlalu sayang kepada anak, berpikir jika akan terjadi sesuatu yang buruk apabila anak dibiarkan bebas, merasa anak belum mampu untuk memilih jalan yang terbaik untuk dirinya sendiri (Kusumaningtyas, 2015). Sikap overprotektif yang diberikan oleh orang tua dapat menyebabkan tertutupnya kesempatan anak untuk belajar dari lingkungannya.

Pola asuh overprotektif dapat menyebabkan anak menjadi lebih mudah takut. Hal ini terjadi karena orang tua selalu melarang anak untuk melakukan sesuatu hal yang baru (melarang anak untuk mengeksplor diri). Selain itu, orang tua dengan pola asuh ini cenderung melakukan/melindungi anaknya dari segala hal, sehingga anak selalu bergantung kepada orang lain dan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri karena selalu dibantu oleh orang tuanya.

 

Bagaimana mencegahnya?

Sebagai upaya mencegah terjadinya sindrom Peterpan, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua, seperti:

Memberikan Kebebasan Anak untuk Memilih Sejak Dini

Sebagai orang tua terkadang sulit untuk memercayai pilihan anak, akan tetapi tidak ada salahnya untuk membiarkan anak  memilih dan membuat keputusan untuk dirinya, misalnya  membiarkan anak memilih mainan yang ingin mereka mainkan, makanan, atau baju untuk berganti. Biasanya anak mulai ingin memilih sendiri saat sudah memiliki kemampuan untuk berkomunikasi (≥3 tahun), pada saat itu orang tua dapat mulai memberikan kesempatan anak untuk memilih.

Memberikan Tanggung Jawab untuk Anak

Orang tua dapat memberikan tanggung jawab mulai dari hal-hal sederhana, seperti mencuci piring sehabis makan, membersihkan kamar saat bangun tidur, menyiram tanaman di sore hari,. Melalui hal-hal seperti itu, anak-anak dapat belajar  bertanggung jawab.

Membiarkan Anak Mengeksplor Hal-hal baru Di Sekitarnya

Dalam masa pertumbuhannya, sudah menjadi sifat alami bagi anak-anak untuk mengeksplor hal-hal baru yang ada di sekitarnya, sebagai orang tua sebaiknya memberikan kesempatan anak untuk melakukan hal tersebut namun tetap memberikan pengawasan apabila terdapat hal-hal yang menurut orang tua dapat membahayakan anak. Tentu hal yang dilakukan oleh anak harus sesuai dengan usianya, misalnya anak prasekolah (4–6 tahun) belajar bercocok tanam dan anak remaja (≥8 tahun) mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, seperti camping, dan lain-lain.

Jika anak ingin melakukan hal-hal yang dapat membahayakan dirinya, sebaiknya orang tua memberikan penjelasan mengenai alasan orang tua melarang hal tersebut, seperti “kenapa mereka tidak boleh melakukannya?”, “kenapa hal itu berbahaya?” atau orang tua dapat mengatakan jika mereka khawatir, jadi orang tua tidak sekadar melarang tanpa memberikan penjelasan yang dapat dimengerti anak.

Jika selama prosesnya orang tua selalu mencegah atau melarang anak untuk melakukan eksplorasi, maka anak dapat menjadi takut untuk melakukan hal baru. Eksplorasi merupakan bagian dari proses stimulasi yang dibutuhkan untuk perkembangan anak karena eksplorasi memberikan kesempatan bagi anak untuk melihat, merasakan, memahami, dan mendapatkan pengalaman serta situasi baru (Heldanita, 2018).

Sebagai orang tua, tentu anda ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Namun, tidak ada salahnya untuk memberikan anak kesempatan melakukan hal-hal yang mereka sukai atau mempelajari hal baru di lingkungan karena jika terlalu dikekang maka dapat berdampak anak tidak punya kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang pada akhirnya akan merepotkan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, orang tua dapat membiarkan anak belajar dan bereksplorasi.

References

Arini, Diana Putri. (2019). “Peterpan Syndrome Phenomenon: Self Identity Crisis in Forming Intimation in Adult Man”. PSIKODIMENSIA, Volume 18, Nomor 2, 159—166.

Healthline. (2020). “Peter Pan Syndrome: When People Just Can’t Grow Up”. (https://www.healthline.com/health/peter-pan-syndrome#narcissism)

Heldanita. (2018). “Pengembangan Kreativitas Melalui Eksplorasi”. Golden Age, 3(1), 53—64.

Kalkan, Melek, et al. (2019). “Peter Pan Syndrome “Man Who Don’t Grow Up”: Developing a Scale”. Men and Masculinities, 20(10), 1—13 (DOI: 10.1177/1097184X19874854)

Killey, D. (1983). The Peter Pan Syndrome: Men Who Never Grown Up”. New York: Dodd.

Kusumaningtyas, Lydia Ersta. (2015). “Dampak Overprotektif terhadap Perkembangan Kemandirian Anak”. Widya Wacana, Volume 10, Nomor 1.

Quadrio, C. (1982). “The Peter Pan and Wendy Syndrome: A Marital Dynamic”. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry, 16(2), 23—28.

Like This

Share This

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on pinterest
Share on whatsapp