Skip to content

Hipersomnia: Apakah berbahaya?

Beraktivitas di siang hari memang melelahkan. Tak jarang rasa kantuk datang di siang hari. Hal tersebut sangatlah wajar dan sering terjadi. Terutama ketika waktu tidur di malam hari kurang dari yang dibutuhkan. Tetapi, apabila kamu merasa ngantuk yang berlebihan di siang hari padahal tidurmu saat malam sudah sangat cukup, kamu perlu waspada. Bisa jadi kamu menderita Hipersomnia.

Hipersomnia sendiri secara sederhana diartikan sebagai gangguan tidur yang ditandai dengan jumlah tidur dan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hipersomnia menyebabkan rasa kantuk tak tertahankan yang tidak disengaja bagi penderitanya. Penderita gangguan ini dapat langsung tertidur bila rasa kantuk itu datang tiba-tiba[1].

Hipersomnia merupakan kebalikan dari insomnia. Gangguan ini dapat menyebabkan penurunan fungsi kinerja secara negatif. Penderita hipersomnia mungkin juga memiliki masalah lain terkait tidur. Hal itu termasuk kekurangan energi dan kesulitan berpikir jernih.

Hipersomnia dialami sebanyak 4% sampai 6% dari populasi. Hipersomnia lebih banyak diderita oleh laki-laki. Hipersomnia dapat berbahaya bagi penderitanya, terutama saat bekerja dan menyetir kendaraan. Hal itu sangat beresiko terhadap terjadinya kecelakaan saat kerja maupun lalu lintas[2]. Hipersomnia bisanya dikaitkan dengan penyakit metabolisme atau endokrin (diabetes, darah tinggi, dll). Dapat juga dikaitkan dengan pernapasan saat tidur dan pergerakan pergerakan tungkai secara berkala saat tidur[3

A very sleepy man at the desk
A very sleepy man created by wayhomestudio - www.freepik.com

Gejala dan Penyebab Hipersomnia

Gejala utama hipersomnia adalah keluhan secara terus-menerus pada siang hari tentang rasa kantuk yang berlebihan. Gangguan ini berfokus pada saraf yang menghasilkan dan mempertahankan siklus tidur – bangun. Pada anak-anak, hipersomnia dapat menyebabkan gangguan belajar, motivasi, dan prestasi akademik[4].

Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab hipersomnia, di antaranya[5]:

  1. Narkolepsi (kantuk di siang hari) dan sleep apnea (gangguan pernapasan saat tidur)
  2. Kurang tidur di malam hari
  3. Kelebihan berat badan
  4. Penyalahgunaan narkoba atau alcohol
  5. Cedera kepala atau penyakit neurologis, seperti penyakit Parkinson
  6. Obat yang diresepkan, seperti obat penenang atau antihistamin
  7. Genetika
  8. Depresi
 

Biasanya hipersomnia pertama kali dikenali pada masa remaja atau dewasa muda. Dalam mendiagnosis hipersomnia, dokter akan menganalisa kebiasaan tidur pasien[6]. Selain itu dokter juga mungkin akan melakukan beberapa tes. Tes tersebut termasuk tes darah, CT scan, dan tes tidur yang disebut polisomnografi. Bahkan dalam beberapa kasus, diperlukan electroencephalogram (EEG), yaitu mengukur aktivitas listrik otak[7].

Pengobatan Hipersomnia

Pengobatan hipersomnia bersifat farmakologis (dengan obat-obatan) dan nonfarmakologis (non-obat). Secara farmakologis, biasanya dilakukan dengan terapi dan obat-obatan. Biasanya dokter meresepkan berbagai obat, seperti stimulan, antidepresan, serta beberapa obat baru (misalnya, Provigil dan Xyrem). Sebenarnya, pengobatan bagi penderita hipersomnia harus didasarkan pada penyebab terjadinya gangguan. Penyebab tersebut harus ditangani terlebih dahulu sebelum memulai terapi[8].

Secara nonfamakologis, yang dapat dilakukan untuk mengobati hipersomnia adalah melakukan Sleep Hygiene atau pola tidur bersih. Ini termasuk latihan untuk meningkatkan kualitas tidur. Hal tersebut meliputi: menghindari kafein, nikotin, makanan berat dan alkohol sebelum tidur. Selain itu, menjaga lingkungan tidur agar tenang dan nyaman, serta menjaga jadwal tidur yang teratur[9].

Banyak istilah yang dilontarkan kepada orang yang seringkali tidur dalam waktu panjang. Biasanya orang lain akan mencela “Kebo lo!” atau “Dih pelor (nempel molor) deh”. Di luar mungkin terlihat biasa. Anggapannya mungkin sepele seperti “Mungkin dia Lelah” atau “Biarin aja lagi capek kali nanti juga bangun sendiri”. Tetapi gangguan ini tak bisa disepelekan. Setelah mengetahui gejala dan bahaya dari gangguan ini, kita harus lebih waspada. Bila mulai muncul gejala hipersomnia, lebih baik segera cari pertolongan dan pengobatan agar gangguan ini tidak semakin parah.

Sumber

Bollu, P. C., Manjamalai, S., Thakkar, M., & Sahota, P. (2018). Hypersomnia. Missouri Medicine115(1), 85–91.[1][9]

Dauvilliers, Y., & Buguet, A. (2005). Hypersomnia. Dialogues in Clinical Neuroscience7(4), 347–356.[3]

Eseigbe, E. E., Nuhu, F. T., Sheikh, T. L., Oguizu, O. J., Ezebuiro, O. G. C., Eseigbe, P., … & Baduku, T. S. (2014). Diagnostic Challenges and Psychosocial Impacts of Hypersomnia in a Nigerian Adolescent: A Case Report. Nigerian Journal of Paediatrics41(4), 386-389.[4]

Larson-Prior, L. J., Ju, Y. E., & Galvin, J. E. (2014). Cortical–Subcortical Interactions in Hypersomnia Disorders: Mechanisms Underlying Cognitive and Behavioral Aspects of The Sleep–Wake Cycle. Frontiers in Neurology5, 165.[2]

Ninds.nih.gov. (2019, 27 Maret). Hypersomnia Information Page. Diakses pada 25 Agustus 2020 dari https://www.ninds.nih.gov/Disorders/All-Disorders/Hypersomnia-Information-Page#disorders-r3 [6]

WebMD. (2019, 20 Agustus). Sleep and Hypersomnia. Diakses pada 25 Agustus 2020 dari https://www.webmd.com/sleep-disorders/hypersomnia [5][7][8][

Like This

Share This

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on pinterest
Share on whatsapp